my pets

my pets
ngaco abis ini mah bukan pet, but dari game kok

Thursday, April 23, 2009

Tabir candu asmara

CINTA bukan perkara hati, rupanya. Asmara itu murni urusan otak, ternyata. Cinta bukan soal perasaan, tapi masalah logika. Sebab cinta (tidak) buta, maka ia bisa dipahami melalui proses berpikir, reaksi-reaksi hormonal, dan pengaruh genetika.

Maka, agaknya keliru bila ekspresi cinta kerap disimbolkan dengan sebentuk hati. Tapi, biarkan sajalah dulu kesalahkaprahan itu, usah buru-buru pula mengubah kebiasaan itu. Simpulan para peneliti cinta itu sekadar mengingatkan, bahwa magma asmara itu di kepala adanya.

Bianca Acevedo, misalnya, pada valentine baru lewat masih bertukar hati dengan kekasihnya. Padahal ahli syaraf asal New York ini, adalah salah satu peneliti yang terlibat aktif menyibak rahasia asmara. Bersama koleganya, Bianca menyimpulkan pengaruh otak ditemukan dalam setiap jenis hubungan cinta.

“Memang, cinta itu merupakan proses biologis. Kami sudah mengindentifikasi beberapa faktor penting yang terlibat di dalamnya,” kata Larry Young dari The Yerkes National Primate Research Center di Emory University, Atlanta. Di tempat ini, ia mempelajari bagaimana cinta bersemi di antara para binatang yang punya struktur biologis “mirip” manusia.

Temuannya menjadi pembanding untuk mendalami masalah serupa pada manusia. Hasilnya? Dalam otak manusia terdapat empat area kecil yang disebut kumparan cinta: ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, ventral pallidum dan raphe nucleus. Bianca, bersama sejawatnya, mendalami sirkuit cinta itu di Albert Einstein College of Medicine.

VTA itu ibarat mesin sensor, bagian dari reward system dalam struktur otak. Area ini akan bereaksi dahsyat dan rasanya melenakan, misalnya, seperti ketika seseorang yang sedang jatuh cinta mendapati gambar pujaan hatinya. Reaksi sama juga terjadi pada VTA orang-orang yang tetap romantis meski sudah puluhan tahun berasyik masyuk.

“VTA merupakan sel-sel yang memproduksi dopamine untuk didistribusikan ke bagian-bagian lain di otak,” kata Helen Fisher, peneliti dan Profesor Rutgers University. “Ketika Anda berusaha atau mendapatkan hadiah terbesar dalam hidup seperti kekasih, system reward itu akan bekerja.”

Jadi, cinta itu adalah proses biologis yang melibatkan zat-zat kimia tubuh. Proses kerja cinta itu mirip kecanduan obat. “Kecanduan itu sangat menggairahkan tatkala cinta berjalan selayaknya. Sebaliknya, ketagihan itu menjadi sangat mengerikan ketika asmara terkoyak-koyak. Orang bisa membunuh atau mati hanya karena cinta,” kata Helen.

Cinta memang selalu diharapkan penuh warna dan berbunga-bunga. Biduk cinta senantiasa dikhayalkan tak menerjang love3badai dan gelombang. Cuma, asmara kerap diserimpung onak dan duri. Asmara sering kandas tak pantas. Dunia, ternyata, tak selalu bisa menjadi milik berdua.

Pada pasangan patah hati atau putus cinta, para peneliti menemukan aktivitas tambahan di nucleus accumbens, area di otak yang terkait dengan kondisi kecanduan atau ketagihan itu. “Mirip sekali dengan kecanduan pada obat-obatan,” kata Lucy Brown, ahli syaraf di Albert Einstein College of Medicine.

Sementara itu, pada pasangan yang sudah berkawin selama 20 tahun, selalu bergandengan tangan, dan bermanja-ria layaknya pasangan baru, para peneliti mendapatkan kegiatan lain di sirkuit cinta mereka. Selain VTA, area ventral pallidum dan raphe nucleus otak pasangan romantis ini juga sangat aktif.

“Ventral pallidum terhubung dengan hormon pereda ketegangan atau stress, sedangkan raphe nucleus mengeluarkan serotonin yang memberi efek tenang pada seseorang,” kata Helen. “Kedua area itu merangsang munculnya sejenis perasaan tak bersalah. Ini adalah level kegembiraan paling rendah,” Lucy menambahkan.

Temuan terbaru ini mungkin akan mengubah paradigma ihwal cinta. Tapi, para peneliti asmara menegaskan, maksud mereka sekadar memahami bekerjanya proses percintaan. Selebihnya, tentu saja, bisa diaplikasikan untuk keperluan-keperluan praktis.

Tujuan besar penelitian Larry misalnya, adalah untuk memahami dan mencari solusi terbaik untuk memecahkan persoalan-persoalan interaksi sosial seperti autis dan lainnya. Adapun studi Helen dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang tertarik pada yang lainnya, khususnya dengan merebaknya situs interaksi sosial di dunia maya.

Tapi, menurut Profesor Psikologi University of Hawaii, Elaine Hatfield, temuan penelitian sirkuit cinta masih terbuka untuk diperdebatkan. Maka ia menyarankan, temuan ini masih harus disandingkan dengan temuan-temuan penelitian dari studi psikologi tradisional.

Kritik Elaine tak keliru. Tapi, peneliti otak juga punya argumentasi. Misalnya, inginnya mereka meneliti kumparan cinta pada otak manusia secara langsung. Namun, apa daya, keinginan itu mustahil dilakukan. Walhasil, meski mereka menggunakan binatang sebagai obyek studi, hasilnya tetap dapat dipertanggungjawabkan.

Misalnya, mengapa Larry meneliti vole –sejenis tikus— tentu bukan tanpa alasan. Katanya, hanya sekitar lima persen mamalia yang menjalin “cinta” di antara mereka dalam hidupnya. “Tapi vole melakukannya,” kata Larry. Hubungan itu dirangsang oleh hormon-hormon tertentu yang juga sama dengan hormon yang dimiliki manusia.

Pada vole betina, hormon perangsang percintaan itu disebut oxytocin. Sedangkan pada vole jantan disebut vasopressin. Hormon itu diproduksi oleh vole pada saat kecil dan oleh manusia pada waktu kanak-kanak. Ketika oxytocin atau vasopressin dihambat atau dihentikan, vole tidak menjalin ‘hubungan’ dengan lawan jenisnya.

Ringkasnya, kata Larry, secara teoritis gairah cinta itu dapat terus dipelihara. Jika tidak melanggar etika atau kode etik tertentu, menggunakan obat perangsang bisa menjadi alternatif. Tapi, secara alamiah, berangkulan, berpelukan, saling bercumbu juga dapat menggelorakan gelegak asmara.

“Istri saya mengatakan, bunga juga bisa membangkitkan asmara. Sebagai ilmuwan, saya sulit mencernanya bagaimana mungkin bunga mampu menstimuli sirkuit cinta,” kata Larry. “Tapi, saya membuktikan sendiri. Bunga memang punya pengaruh besar. Begitu sebaliknya.”

Featuring Movies, Music, Sports, Television, and Lifestyle Articles
Tabir Candu Asmara

with one comment

love-monsta1CINTA bukan perkara hati, rupanya. Asmara itu murni urusan otak, ternyata. Cinta bukan soal perasaan, tapi masalah logika. Sebab cinta (tidak) buta, maka ia bisa dipahami melalui proses berpikir, reaksi-reaksi hormonal, dan pengaruh genetika.

Maka, agaknya keliru bila ekspresi cinta kerap disimbolkan dengan sebentuk hati. Tapi, biarkan sajalah dulu kesalahkaprahan itu, usah buru-buru pula mengubah kebiasaan itu. Simpulan para peneliti cinta itu sekadar mengingatkan, bahwa magma asmara itu di kepala adanya.

Bianca Acevedo, misalnya, pada valentine baru lewat masih bertukar hati dengan kekasihnya. Padahal ahli syaraf asal New York ini, adalah salah satu peneliti yang terlibat aktif menyibak rahasia asmara. Bersama koleganya, Bianca menyimpulkan pengaruh otak ditemukan dalam setiap jenis hubungan cinta.

“Memang, cinta itu merupakan proses biologis. Kami sudah mengindentifikasi beberapa faktor penting yang terlibat di dalamnya,” kata Larry Young dari The Yerkes National Primate Research Center di Emory University, Atlanta. Di tempat ini, ia mempelajari bagaimana cinta bersemi di antara para binatang yang punya struktur biologis “mirip” manusia.

Temuannya menjadi pembanding untuk mendalami masalah serupa pada manusia. Hasilnya? Dalam otak manusia terdapat empat area kecil yang disebut kumparan cinta: ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, ventral pallidum dan raphe nucleus. Bianca, bersama sejawatnya, mendalami sirkuit cinta itu di Albert Einstein College of Medicine.

VTA itu ibarat mesin sensor, bagian dari reward system dalam struktur otak. Area ini akan bereaksi dahsyat dan rasanya melenakan, misalnya, seperti ketika seseorang yang sedang jatuh cinta mendapati gambar pujaan hatinya. Reaksi sama juga terjadi pada VTA orang-orang yang tetap romantis meski sudah puluhan tahun berasyik masyuk.

“VTA merupakan sel-sel yang memproduksi dopamine untuk didistribusikan ke bagian-bagian lain di otak,” kata Helen Fisher, peneliti dan Profesor Rutgers University. “Ketika Anda berusaha atau mendapatkan hadiah terbesar dalam hidup seperti kekasih, system reward itu akan bekerja.”

Jadi, cinta itu adalah proses biologis yang melibatkan zat-zat kimia tubuh. Proses kerja cinta itu mirip kecanduan obat. “Kecanduan itu sangat menggairahkan tatkala cinta berjalan selayaknya. Sebaliknya, ketagihan itu menjadi sangat mengerikan ketika asmara terkoyak-koyak. Orang bisa membunuh atau mati hanya karena cinta,” kata Helen.

Cinta memang selalu diharapkan penuh warna dan berbunga-bunga. Biduk cinta senantiasa dikhayalkan tak menerjang love3badai dan gelombang. Cuma, asmara kerap diserimpung onak dan duri. Asmara sering kandas tak pantas. Dunia, ternyata, tak selalu bisa menjadi milik berdua.

Pada pasangan patah hati atau putus cinta, para peneliti menemukan aktivitas tambahan di nucleus accumbens, area di otak yang terkait dengan kondisi kecanduan atau ketagihan itu. “Mirip sekali dengan kecanduan pada obat-obatan,” kata Lucy Brown, ahli syaraf di Albert Einstein College of Medicine.

Sementara itu, pada pasangan yang sudah berkawin selama 20 tahun, selalu bergandengan tangan, dan bermanja-ria layaknya pasangan baru, para peneliti mendapatkan kegiatan lain di sirkuit cinta mereka. Selain VTA, area ventral pallidum dan raphe nucleus otak pasangan romantis ini juga sangat aktif.

“Ventral pallidum terhubung dengan hormon pereda ketegangan atau stress, sedangkan raphe nucleus mengeluarkan serotonin yang memberi efek tenang pada seseorang,” kata Helen. “Kedua area itu merangsang munculnya sejenis perasaan tak bersalah. Ini adalah level kegembiraan paling rendah,” Lucy menambahkan.

Temuan terbaru ini mungkin akan mengubah paradigma ihwal cinta. Tapi, para peneliti asmara menegaskan, maksud mereka sekadar memahami bekerjanya proses percintaan. Selebihnya, tentu saja, bisa diaplikasikan untuk keperluan-keperluan praktis.

Tujuan besar penelitian Larry misalnya, adalah untuk memahami dan mencari solusi terbaik untuk memecahkan persoalan-persoalan interaksi sosial seperti autis dan lainnya. Adapun studi Helen dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang tertarik pada yang lainnya, khususnya dengan merebaknya situs interaksi sosial di dunia maya.

Tapi, menurut Profesor Psikologi University of Hawaii, Elaine Hatfield, temuan penelitian sirkuit cinta masih terbuka untuk diperdebatkan. Maka ia menyarankan, temuan ini masih harus disandingkan dengan temuan-temuan penelitian dari studi psikologi tradisional.

Kritik Elaine tak keliru. Tapi, peneliti otak juga punya argumentasi. Misalnya, inginnya mereka meneliti kumparan cinta pada otak manusia secara langsung. Namun, apa daya, keinginan itu mustahil dilakukan. Walhasil, meski mereka menggunakan binatang sebagai obyek studi, hasilnya tetap dapat dipertanggungjawabkan.

Misalnya, mengapa Larry meneliti vole –sejenis tikus— tentu bukan tanpa alasan. Katanya, hanya sekitar lima persen mamalia yang menjalin “cinta” di antara mereka dalam hidupnya. “Tapi vole melakukannya,” kata Larry. Hubungan itu dirangsang oleh hormon-hormon tertentu yang juga sama dengan hormon yang dimiliki manusia.

Pada vole betina, hormon perangsang percintaan itu disebut oxytocin. Sedangkan pada vole jantan disebut vasopressin. Hormon itu diproduksi oleh vole pada saat kecil dan oleh manusia pada waktu kanak-kanak. Ketika oxytocin atau vasopressin dihambat atau dihentikan, vole tidak menjalin ‘hubungan’ dengan lawan jenisnya.

Ringkasnya, kata Larry, secara teoritis gairah cinta itu dapat terus dipelihara. Jika tidak melanggar etika atau kode etik tertentu, menggunakan obat perangsang bisa menjadi alternatif. Tapi, secara alamiah, berangkulan, berpelukan, saling bercumbu juga dapat menggelorakan gelegak asmara.

“Istri saya mengatakan, bunga juga bisa membangkitkan asmara. Sebagai ilmuwan, saya sulit mencernanya bagaimana mungkin bunga mampu menstimuli sirkuit cinta,” kata Larry. “Tapi, saya membuktikan sendiri. Bunga memang punya pengaruh besar. Begitu sebaliknya.”

Sumber: AP (naskah); lovingyou.com, diambil langsung dari web ini

No comments: